Saturday, October 21, 2006
Ketika Tamu Agung Itu Datang
Oleh: Ahmad Tarmidzi, Lc.*
Mari kita kembali ke rumah kita. Tempat kita ditempa dan dibina di kawah candradimuka. Enam tahun atau empat tahun, yang terus terang, telah membentuk kepribadian dan watak kita hari ini. Kita putar memori ini pada saat-saat kita masih bersama teman sebaya, bermain dan tertawa, menangis dan berduka. Waktu pramuka di hari Kamis, muhâdlArah, dan mengisi malam dengan belajar kelompok. Lebih spesifik lagi, mari tempatkan memori kita pada saat Ramadhan di Ngabar. Saat tamu agung itu menjadi syarat kenaikan kelas bagi santri tingkat V. Apa yang tersisa dari ingatan kita? Saya yakin bahwa kebanyakan dari kita —alumni PPWS Ngabar— hanya pernah merasakan Ramadhan sekali saja selama berada di pondok. Kecuali mereka yang asli dari Ngabar atau mereka yang selama enam atau empat tahun di Ngabar tidak pernah pulang sama sekali. Kebanyakan dari kita hanya pernah merasakan satu kali Ramadhan selama di pondok. Dan yang kita alami hampir sama. Mengikuti kegiatan-kegiatan yang dirancang sejak pagi sampai malam harinya oleh Panitia Bulan Ramadhan (PBR). Yang kita alami hampir sama, dan kesan kita berbeda-beda.

Pada Ramadhan 1999, saya mendapat kepercayaan menjadi Sekretaris PBR. Mendapat kesempatan untuk menyusun kegiatan santri selama satu bulan penuh. Seluruh santri yang mukim wajib mematuhi peraturan dan mengikuti kegiatan thalibul ilmi yang telah dirancang pengurus. Di antara mereka ada yang mematuhi, dan sebagian mereka ada yang sering meninggalkan kegiatan secara diam-diam karena bosan, jemu dan suasana kegiatan yang dirasakan para santri terlalu mengekang mereka. Semua kita punya cerita tentang pelanggaran dan hukuman yang ditegakkan saat itu. Dan kita semua punya kesan yang berbeda.

Hari ini semuanya tinggal kenangan. Sekarang kita hidup pada ruang, masa dan miliu yang berbeda. Tidak ada lagi pengawasan dan jadwal yang mengikat Ramadhan kali ini. Semua tergantung kepada kemampuan mengatur diri, kemandirian bersikap dan kedewasaan dalam bertindak. Kesadaran untuk membentuk diri, dan pemahaman akan urgensi perubahan pada diri kita. Saya tidak sekedar mengajak anda untuk bernostalgia. Lebih dari itu, saya ingin mengajak anda menekuri sejarah yang pernah kita lalui bersama. Bahwa sejarah bukanlah ruang kosong dan hampa tanpa makna. Bukan sekedar hari kemarin, tetapi ia menjadi pondasi keberadaan kita hari ini. Tempat kita kembali bercermin, melihat sejauh mana usaha pengembangan diri yang sudah kita jalani.

Tamu agung ini, walau sudah berkali-kali pernah kita sambut dalam kehidupan kita, tetapi selalu membawa makna dan nuansa baru serta memberikan perubahan pada jiwa-jiwa yang beriman. Setidaknya merefresh posisi dan peran kita sebagai individu, anggota keluarga dan bagian dari masyarakat. Dia datang membawa obat dari penyakit yang selama ini kita derita. Menawarkan resep penyembuhan serta pencegahan. Dari penyakit hati, kesenjangan sosial dan penyakit yang melanda umat seperti perpecahan, ketertinggalan dan penjajahan terhadap dunia Islam.

Cukuplah sebagai bukti bahwa kemenangan-kemenangan umat Islam banyak terjadi di bulan suci ini. Shâff umat pun kembali terikat erat dengan sesaknya mesjid-mesjid oleh jiwa-jiwa suci. Sedekah-sedekah menjadi syi’âr yang tidak asing dan begitu terasa terutama bagi kita para wafidîn. Ini semua memenuhi ruang lingkup di mana kita berada saat ini. Membandingkan sejarah selama kita di Tanah Air dan di Ma’had dulu, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik untuk meningkatkan kualitas pribadi-pribadi dan mempererat tali silaturrahim kita. Di antara syi’âr yang biasa diangkat teman-teman saat tamu agung itu datang antara lain:
Meningkatkan kualitas membaca. Menjadikan al-Quran, Hadits dan buku tsaqafah lainnya sebagai teman sejati. Kalau di hari-hari biasa tilawah kita berkisar ½ sampai satu juz sehari, maka di bulan ini meningkat menjadi 2 atau 3 juz setiap hari. Mempererat silaturrahmi, seperti shalat tarawih berjamaah di salah satu mesjid atau di rumah salah seorang teman, ifthâr bersama sambil mendengarkan taushiyah dari guru-guru kita. Meningkatkan kualitas ibadah, dengan mengisi hari-hari di bulan agung ini shiyâm, qiyâm, tilawah dan sedekah. Meminimalisir aktifitas-aktifitas yang tidak perlu dan memberikan porsi waktu yang besar untuk taqarrub kepada Allah Swt.

Lingkungan yang dibentuk seperti ini sangat kondusif untuk melahirkan kekuatan pada pribadi-pribadi kita. Dan sebagai komunitas satu almamater, HAKPW, mengangkat syi’âr di atas sebagai kebiasaan bersama, dapat mengantarkan kita pada komunitas yang kuat secara internal. Lebih mengedepankan kerja dan amal nyata daripada sekedar berkata-kata.
Tamu agung itu sudah datang. Menyambut dan mengisinya dengan amal produktif menjadi niscaya hari ini. Dia menjadi madrasah bagi orang-orang besar. Tempat berhenti dan menata kembali kekurangan-kekurangan pada tahun-tahun sebelumnya. Dari rahimnya, lahir para pahlawan yang menghiasi sejarah perjalanan panjang umat. Lahirnya tokoh-tokoh sebagaimana dikatakan Muhammad Iqbal:

“Terserah kepada siapa engkau berguru dan mencari hikmah
Orang-orang besar hanya lahir dari rahim waktu Sahur”.
*Mahasiswa Pasca Sarjana Univ. al-Azhar.
 
posted by iqra at 5:53 PM | Permalink |


0 Comments: