Saturday, October 21, 2006
Sikap Yang Terlupakan
Oleh: Ary El Anjarie *

Arus modernisasi saat ini membawa umat manusia menuju kehidupan yang lebih mapan. Tentu hal ini jika ditilik dari sisi positifnya saja, namun tidak menafikan bahwa seiring dengan kemajuan sebuah peradaban, semakin konpleks pulalah problematika kehidupan yang terjadi. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai elemen kehidupan di masyarakat. Dekadensi moral yang kian hari kian menjangkiti kawula muda. Tindak kriminalitas yang semakin menjadi seiring dengan semakin maraknya tontonan yang tidak sesuai dengan tujuan utamanya, sebagai sarana pendidikan dan peningkatan Sumber Daya Manusia. Ditambah kebebasan pers yang tidak kenal lelah mengeksplorasi segala tindak kejahatan yang terjadi. Baik disadari ataupun tidak, kebebasan pers ini berdampak negatif bagi kelangsungan sebuah komunitas. Masyarakat akan beranggapan bahwa tindakan kriminal sudah tidak menjadi hal tabu lagi. Dan merekapun semakin tidak merasa malu untuk melanggar norma-norma kehidupan yang selama ini dijadikan sebagai landasan hidup bersosial. Keadaan seperti inilah yang menjangkiti Tanah Air kita kini.

Keadaan yang carut-marut ini tak cukup sampai disini, krisis multidimensi pun merongrong Bumi Pertiwi kita. Krisis moral, ekonomi, juga krisis Sumber Daya Alam. Sebuah riset mengatakan bahwa cadangan batu bara kita akan habis pada tahun 2035, yang lebih ironis lagi, cadangan minyak bumi kita hanya akan bertahan 10-15 tahun kedepan. Meskipun hal ini hanya merupakan hasil dari analisa, tapi bukti-bukti konkrit sudah ditemukan. Ditambah dengan bencana alam yang tak kunjung berakhir. Tsunami yang mengguncang bumi Aceh, gempa bumi, banjir lumpur dan berbagai bencana lainnya. Seakan bumi derita yang tak berkesudahan. Bumi yang dulu pernah dijuluki "jamrud khatulistiwa" ini, sekarang tak lebih hanya menjadi dongeng pengantar tidur.

Ironisnya semua kegetiran ini tak disikapi dengan bijaksana. Pemerintah maupun wong cilik masih sering mencari kambing hitam. Bukan mencari solusi terbaik dalam menghadapi cobaan yang datang, akan tetapi malah diasyikan dengan budaya saling menyalahkan. Usia Indonesia yang kini genap 61 tahun 20 hari ternyata tak membuat Indonesia semakin dewasa. Para Ulama terlena dengan perdebatan berbaukan syariat. Hanya dikarenakan perbedaan-perbedaan furuu'. Padahal disana ada hal yang lebih utama yang harus dilakukan. Masih banyak masyarakat yang ber-KTP-kan Islam, tapi tingkah dan sikap tak mencerminkan kepribadian Muslim. Coba kita sama-sama simak jawaban seorang masyarakat dengan idenditas Muslim yang sempat ditanya tentang penyebab bencana terjadi. Yang membuat penulis tergelitik, bukan jawaban logis atau jawaban seorang Muslim yang ia katakan. Tapi dengan semangat ia menjawab "Nyai Rorok Kidul sedang marah, Tsunami itu hanya gerakan ekornya saja, gunung meletus itu hanya semburan air ludahnya". Bukankah ia Muslim? Tapi jelas-jelas ia percaya dengan kekuatan selain Allah swt. benarkah aqidah ke-Islamanya? Hal ini yang menjadi tugas Muslimin semua. Ingat!, Ia tidak seorang diri, melainkan disana ratusan bahkan ribuan masyarakat yang berkeyakinan demikian.

Sikap Yang harus diambil saat ini adalah merapatkan barisan, saling berpegang tangan, bersatu padu dalam membangun Nusantara berjaya kembali. Rasa egoisme, fanatisme golongan jauh-jauh kita tinggalkan. Bukan perbedaan yang kita cari tapi jalan tengah yang harus kita tempuh. Bukankah sebaik-baik perkara adalah pertengahannya? Indonesia bumi kita bersama. Tempat dimana beta dilahirkan dan peraduan kita berehat di hari tua. Ingat masa depan Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama.
*Sekretaris HAKPW periode 2006-2007
 
posted by iqra at 5:16 PM | Permalink |


0 Comments: