Tuesday, September 26, 2006
Antara Wajib Dan Haram
Oleh : Putra Pantai Selatan*
Kata "nazar" secara etimologi adalah janji; janji baik atau buruk. Sedangkan secara terminologi adalah menetapkan kewajiban bagi diri sendiri (untuk taqarrub/ibadah) pada Allah Swt. walaupun hukum asalnya tidak wajib.
Nazar ada dua macam, nazar yang bersikeras untuk dekat (melantur-lantur perdebatan) atau mengeluarkan sumpah yang tidak mengarah pada ibadah, jika tidak bisa terlaksana akibatnya wajib membayar kifarat sumpah atau menetapkannya sebagai nazar.
Adapun yang kedua adalah nazar mujâzah. Orang yang bernazar tidak mengaitkan dengan sesuatu, maka nazar itu wajib di laksanakan. Ada kaitannya dengan hal yang diperkenakan dan ditaati misalnya seorang mahasiswa al-Azhar sedang ujian ia berkata: seandainya saya sukses demi Allah Swt. saya akan puasa dan tasyakuran dan mengundang angota HAKPW". Maka jikalau harapannya terpenuhi, ia wajib melaksanakan nazarnya, Apabila dia bernazar puasa, ia harus berpuasa minimal 1 hari, Andai kata ia bernazar untuk tasyakuran, maka wajib pula baginya untuk menunaikan apa yang ia nazarkan, walaupun hanya dengan sebungkus makanan ringan dan sebotol air mineral. Begitu pula, jika dia bernazar dengan jumlah besar, umpamanya ia bernazar, ”apabila saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan dengan izin Allah tentunya, Insya Allah saya akan meyembelih 1 ekor unta”, maka ia wajib melaksanakannya (demikian menurut pendapat Qadhi Abu Thayib) Lalu para mushannif merinci uraian terdahulu (mengulasnya), "tiada nazar yang di kaitkan dengan perilaku maksiat”, (maksudnya nazar tidak sah apabila nazar dikaitkan dengan perilaku maksiat misalnya: Seandainya saya berhasil mebinasakan Si Fulan ( tanpa alasan yang benar), maka saya akan berpuasa 1 bulan.

Keterangan:
Contoh nazar, saya akan membinasakan Si Fulan bin Fulan, maka nazar ini tidak sah, dengan kata lain tidak wajib di laksanakan, bahkan wajib di hindari atau lebih tegasnya, haram dilaksanakan, demikian pula nazar lain yang menjurus pada hal-hal maksiat. Berbeda dengan contoh nazar berikut: “Saya akan berpuasa, kalau saya jadi presiden PPMI, maka nazar itu sah dan wajib melaksanakanya. Dan juga tidak sah, nazar terhadap kewajiban yang bersifat wajib 'ain. Misalnya: nazar sholat 5 waktu. Lain halnya dengan wajib kifayah, maka orang tersebut wajib melaksanakannya (demikian keterangan yang di muat dalam kitab Raudhah).
Nazar berbuat kebaikan wajib dilaksanakan, bahkan kalau tidak dilaksanakan berarti ia melanggar nazarnya, dan ia wajib menbayar kifarat (sejumlah kifarat sumpah). Sebaliknya nazar berbuat maksiat (atau hal hal yang mengarah pada maksiat) maka tidak wajib dilaksanakan dan hukumnya adalah haram untuk melaksanakannya, sebagaimana yang telah terurai pada uraian yang diatas. Umpamanya bernazar akan berzina atau pesta pil koplo dan perbuatan-perbuatan haram lainnya Kemudian (masih terkait dengan permasalahan di atas) nazar untuk berbuat taat merupakan nazar kebaikan, dengan syarat “ketaatan” tersebut tidak tercakup dalam cakupan yang bersifat 'ain, seperti sholat 5 waktu, puasa romadhon atau haji, nazar seperti ini, tidak sah untuk di tunaikan, karena hal-hal tersebut (sholat 5 waktu, puasa, haji) termasuk dalam lingkupan fardhu yang bersifat 'ain. Kalaupun tidak bernazar itu memang sudah merupakan kewajiban yang sudah jelas, dan harus dilaksanakan dengan memenuhi syarat rukunnya. Dan meninggalkannya adalah dosa. Tetapi jika semisalnya yang di nazarkan itu perbuatan yang berada dalam lingkup fardhu kifayah atau bersifat sunah. Contoh perkara: “Kelak, jika saya sembuh dari penyakit yang sedang saya alami, saya akan mengkhatam kan Al-Quran dalam satu bulan ini 3x. Dan sebagainya. Maka nazar yang demikian itu wajib dilaksanakan.

Dan tidak boleh bernazar untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat mubah, atau nazar untuk melakukan hal hal yang mubah Misalnya: “Saya tidak akan makan Ayam panggang dan juga tidak akan minum sari buah. Atau hal-hal yang serupa dan bersifat mubah, Menurut Imam Bagawi ra. dalam keterangan beliau di dalam kitab Muharrar dan Minhaj, orang yang melanggar nazar mubah tersebut wajib membayar kifarat sebagaimana yang berlaku bagi pelanggar sumpah. Berbeda dengan keputusan/ketetapan imam Nawawi ra. Yang di muat dalam kitab Raudhah menyatakan bahwasanya membayar kifarat bagi pelanggar nazar mubah tidak wajib.
* Bidang Sos & Kesejahteraan HAKPW


 
posted by iqra at 4:13 AM | Permalink |


1 Comments:


  • At 3:07 PM, Blogger winda cs

    Lalu kifarat sumpah itu seperti apa?dalam bentuk apa kita membayarnya?
    Saya merasa berdosa sekali pada Allah,karna saya banyak bernazar namun masih banyak kelalaian dalam pelaksanaan nazar ini,lalu apa yg harus saya lakukan,saya tidak ingin ditinggalkan olehNya ..
    Mohon penjelasannya ..