Saturday, October 21, 2006
Seputar Nuzulul Qur'an
Ahmad Yusrie Zarkasyi, Lc*
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur'an, sebelum
diturunkan kepada Rasululullah Saw, disimpan di suatu tempat yang bernama Lauh al-Mahfudz (Q.S. AlBurûj: 21-22). Bukan hanya al-Qur’an, seluruh kejadian yang telah, sedang dan akan terjadi di alam ini pun telah dicatat di tempat tersebut. Tentang Lauh al-Mahfudz, Imam Alusi berkata, ”Kami mempercayainya tanpa harus mencari hakikatnya maupun bagaimana pencatatan didalamnya”. (Lihat Rûhul Ma‘ânî, Tafsîr Sûrah al-Burûj). Dari Lauh al-Mahfudz, bagaimanakah perjalan (turunnya) al-Qur'an selanjutnya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menelaah surat al-Baqarah ayat 185, al-Dukhân ayat 3 dan al-Qadar ayat 1.
Ketiga ayat tersebut, secara implisit, menunjukkan bahwa al-Qur'an turun secara langsung dan utuh pada malam Lailatul Qadar. Turunnya al-Qur’an pada malam tersebut, masih berdasarkan teks ayat diatas, tidak seperti turunnya al-Qur'an kepada Rasulullah Saw. Karena al-Qur'an turun kepada Rasulullah Saw secara berangsur-angsur selama masa kenabian, sedang makna implisit dari ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur'an turun secara langsung dan utuh di suatu tempat. Tempat tersebut terletak di langit dunia yang bernama “Baitul Izzah” sebagaimana riwayat Ibnu Abbas: ”al-Qur'an diturunkan (dari Lauh al-Mahfudz) dalam satu tempo ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur (ke bumi) selama 20 tahun”. (HR. Hakim dan Baihaqy). Ringkasnya, perjalanan al-Qur'an dari Lauh al-Mahfudz tidak langsung ke bumi, melainkan “transit” terlebih dahulu di Baitul Izzah. Demikian pendapat mayoritas ulama tentang proses Nuzûl al-Qur’an. Kendati demikian tidak semua ulama sependapat dengan konsorsium diatas.

Imam Zarkasyi dalam Al Burhânnya mengklasifikasi 3 pendapat ulama tentang proses Nuzûl al-Qur’an sebagai berikut:
1. Dari Lauh al-Mahfudz, Al-Qur'an turun ke Baitul Izzah pada satu malam Lailatul Qadar secara langsung (munajjam), kemudian turun berangsur-angsur kepada Rasulullah Saw. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama, semisal Imam As-Suyûthî, Thabarî, Qurthubî, Abu Syahbah dll.
2. Dari Lauh al-Mahfudz, Al-Qur'an turun ke Baitul Izzah selama 20 malam Lailatul Qadar, ada yang berpendapat selama 23 bahkan 25 malam Lailatul Qadar. Pada setiap malam Lailatul Qadar, Allah Swt menurunkan beberapa ayat untuk setahun sampai tiba malam Lailatul Qadar selanjutnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muqatil, Imam Abdullah al-Halimî dan Mawardî.
3. Al-Qur'an mulai diturunkan –dari Lauh al-Mahfudz-- kepada Rasulullah Saw pada malam Lailatul Qadar tanpa “transit” terlebih dahulu di Baitul Izzah (karena kelompok pendapat ini tidak mengakui adanya Baitul Izzah). Yang termasuk dalam kelompok pendapat ini yaitu Sya’bî, Muhammad Abduh, Rasyid Ridhâ dan Ibnu Asyur. Secara sekilas, pendapat pertama dan kedua selaras dengan makna implisit ketiga ayat diatas. Berbeda dengan pendapat ketiga yang menafikan adanya Baitul Izzah. Namun, benarkah demikian adanya? Marilah kita kaji lebih teliti.
Bila kita mengkaji riwayat yang mengatakan adanya Baitul Izzah, semua sanadnya (para perawi) meriwayatkan dari Ibnu Abbas secara mauquf (yaitu Hadits yang diriwayatkan seorang sahabat secara tidak langsung dari Rasulullah Saw yang belum tentu bisa dinisbahkan kepada Rasul Saw). Dari sisi sanad, Imam Hakim mengesahkan kesahihan hadits tersebut. Demikian juga Al-Nasâ`î dan Imam Suyûthî. Dari sisi matannya (teks hadits), hadits tersebut berbicara tentang hal-hal yang ghaib (ghaibiyyat). Dalam kaidah Ilmu Hadist, sebuah hadits mauquf, bisa dinisbahkan (dirafa=diangkat) kepada Rasulullah Saw bila memenuhi 2 syarat:.(1) Hadist yang diriwayatkan berkenaan dengan hal-hal yang tidak bisa dijangkau dengan akal (metafisika). (2) Sahabat (perawi) tersebut tidak termasuk orang-orang yang meriwayatkan riwayat-riwayat Israiliyyât (riwayat-riwayat Ahli Kitab). Mengenai syarat pertama, telah kita ketehui bersama bahwa riwayat tentang Baitul Izza termasuk dalam ghaibiyyat yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Namun, berkenaan dengan syarat kedua, penulis lebih cenderung memihak pendapat Prof. Dr. Ibrahim Abdurrahman Khalifah (Kepala Jurusan Tafsir Fakultas Usuluddin Univ. Al-Azhar) yang menemukan data tenyata Ibnu Abbas Rahimahullah –wa Allahu A’lam—juga meriwayatkan beberapa riwayat dari Ahli Kitab.

Perlu ditegaskan disini, hendaknya pembaca tidak buru-buru negative thinking kepada Ibnu Abbâs. Karena bisa jadi, ia menganggap apa yang diadopsinya dari Ahli Kitab tidak membahayakan buat dirinya, meskipun itu ternyata membahayakan buat orang lain. Atau ia menganggapnya tidak bertentangan sama sekali baik dengan al-Qur'an maupun Sunah. Berikut beberapa data yang menuturkan bahwa Ibnu Abbas telah meriwayatkan Israiliyyât:
1. Ketika menelaah biografi Ka’ab al-Ahbar, salah seorang mantan Ahli Kitab yang banyak meriwayatkan Israiliyyat, disebutkan bahwa Ibnu Abbâs termasuk salah-seorang yang meriwayatkan darinya (Ka’ab al-Ahbar). Lihat, misalnya, Tahdzîb al-Tahdzîb karangan Ibnu Hajar juz 7 hal. 438, juga (lihat) Khulashah Tadzhîb Tahdzîb al-Kamal Fî Asmâ' al-Rijâl karya Shafiyuddin al-Khazrajî hal. 321.
2. Berkenaan dengan riwayat-riwayat Israiliyyat yang diriwayatkan Ibnu Abbâs, bisa dilihat dalam penafsiran ayat-ayat berikut:
- Surah Sha`: 34. Yaitu kisah tentang setan yang mencuri cincin Nabi Sulaiman AS dari salah satu istrinya.
- Surah al-Baqarah: 102. Yaitu kisah tentang dua malaikat yang diturunkan ke bumi pada zaman nabi Idris AS. Kedua malaikat tersebut akhirnya tergoda oleh seorang wanita.
- Surah al-Thalâq: 12 . Yaitu kisah tentang adanya tujuh bumi dimana di setiap lapisannya terdapat Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim AS dan seterusnya sampai Nabi Muhammad Saw.
Imam Ibnu Katsir, setelah menyitir kisah-kisah tersebut dalam tafsirnya, mengomentari bahwa kisah-kisah tersebut bukan hanya jenis Israiliyyat yang tidak diamini oleh al-Qur'an, bahkan lebih dari itu, kisah-kisah tersebut sangat tidak logis.

Kembali ke riwayat adanya Baitul Izzah --yang juga bersumber dari Ibnu Abbâs, sangat mustahil rasanya riwayat tersebut bisa di nisbahkan (dirafa’) kepada Rasulullah Saw. Karena berita tentang adanya Baitul 'Izzah sangat bersinggungan sekali dengan akidah yang seharusnya diketahui oleh banyak sahabat, tapi kenyataanya hanya diketahui oleh seorang saja (Ibnu Abbâs). Dalam Ilmu Hadist, jenis riwayat seperti ini—yang bersumber dari satu orang—disebut Ahad. Abû Shahbah berpendapat bahwa percaya kepada Al-Sam’iyyât (perkara-perkara akidah yang hanya bisa didengar) sebagaimana adanya Baitul Izzah, tidak harus bersandar kepada hadits yang mutawatir (yaitu yang diriwayatkan oleh banyak orang yang terpercaya kejujurannya), tapi bisa dengan hadits Ahad meskipun masih diduga (al-Dzan) kebenarannya.
Sementara itu, ada pendapat lain --seperti Muhammad Abduh-- yang mengatakan bahwa akidah adalah sesuatu yang harus diyakini maka sandarannya pun harus pasti dan kuat (mutawatir). Dengan demikian, dalil-dalil yang masih diduga kebenarannya tidak bisa dijadikan sandaran dalam akidah sebagaimana dalil (Hadits) tentang adanya Baitul Izzah, apalagi jika perawinya (Ibnu Abbâs) diketahui telah meriwayatkan Israiliyyat. Oleh karena itu, ia (Muhammad Abduh) memilih pendapat yang ketiga tentang proses Nuzulul Qur’an. Wa Allahu A’lam.

Di depan telah disinggung bahwa ketiga ayat diatas, secara tekstual, mengindikasikan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadhan secara keseluruhan di suatu tempat (Baitul Izzah). Benarkah demikian adanya? Marilah kita ‘kupas’ satu persatu. Dalam ayat ke-185 al-Baqarah, disebutkan bahwa al-Qur'an yang diturunkan pada bulan Ramadhan disifati Hudan li al-Nâsi (petunjuk bagi manusia). Sifat tersebut (sebagai petunjuk) lebih layak dinisbahkan kepada al-Qur'an saat di bumi dari pada saat di langit bumi (Baitul Izzah). Bagaimana al-Qur'an bisa disifati sebagai petunjuk bagi manusia jika ia (al-Qur'an) masih berada di langit dunia (Baitul Izzah). Dengan demikian, makna Anzalnâhu (Kami turunkan Al-Qur'an) –pada ayat tersebut-- yakni “Kami turunkan Al-Qur'an ke bumi, bukan ke langit bumi (Baitul Izzah).” Demikian juga interpretasi ayat ke-3 surah Al-Dukhân. Karena Indzar (peringatan) dalam ayat tersebut tidak teraktualisasi kecuali di bumi (bukan di langit bumi, Baitul Izzah). Bagaimana dengan surah al-Qadr? Pada ayat ke-4, disebutkan bahwa pada malam itu (Lailatul Qadr) malikat Jibril beserta malaikat-malaikat yang lain juga turun; meski tidak dijelaskan secara implisit tentang turunnya malaikat, apakah turun ke bumi atau ke langit dunia? Kita tidak boleh terburu-buru menyimpulkan bahwa turunnya malaikat --saat itu-- ke langit dunia berdasarkan riwayat Ibnu Abbas diatas. Karena riwayat tersebut masih lemah sehingga tidak bisa dijadikan penguat ayat tersebut. Sekali lagi Wa Allahu A’lam.
*Mahasiswa Pasca sarjana Univ. al-Azhar
 
posted by iqra at 2:20 PM | Permalink |


2 Comments: