Wednesday, November 29, 2006
Allâhumma Ballighnâ Ramadhân
Oleh : Ulfa Mariatul Qibtiyah*

Fajar 1 Syawal telah menyingsing di ufuk timur, lantunan "Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar" bergema di jagad alam raya ini. Takbir, Tahmid, dan Tahlil tak henti-hentinya dilantunkan umat Islam sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang tak terhingga, yaitu syukur setelah sebulan penuh kita di tempa dalam Madrasah Ramadhan yang sarat nilai dan makna. Kita sebagai insan Muslim, dengan wajah yang cerah melangkahkan kaki menuju Masjid atau lapangan untuk melaksanakan shalat Ied berjamaah, setelah usai shalat kita berjabat tangan saling bermaaf-maafan yang bertujuan untuk menghapus segala kesalahan yang ada diantara sesama Muslim, baik yang disengaja atau tidak di sengaja.

Begitu agung pesan-pesan Ramadhan yang hendak Allah sampaikan kepada insan yang beriman, melalui beragam 'amaliyah 'ubudiyah seperti shaum, shalat tarawih, tilawah Al-Qur'an, sedekah, zakat, dan i'tikaf, karena Allah Swt. ingin agar pesan-pesan Ramadhan itu kita tangkap, hayati, dan diaktualisasikasn dalam keseharian hidup kita sehingga kita semua diharapkan menjadi insan yang bertakwa.

Sekarang kita telah menggapai kemenangan itu, kemenangan Idul Fitri, yang berarti kembali kepada kesucian (fitrah).hal ini merupakan puncak pencapaian spiritualitas yang sangat kita damba dan tentunya membahagiakan diri kita sebagai Muslim. Akan tetapi kita perlu merenung sejenak. Sudahkah kita meraih tujuan dari shaum Ramadhan kita? Sudahkah kita memperoleh penyucian jiwa (tazkiyatun-Nafs) yang selama 11 bulan terlumuri oleh berbagai kotoran, noda, dan dosa yang telah mereduksi nilai kemanusiaan kita? hanya diri kita pribadi yang bisa menjawab pertanyaan diatas. So pasti kita tidak ingin Ramadhan ini menjadi ritual tahunan yang kosong tanpa makna, kita tidak ingin ibadah Ramadhan ini seperti tong kosong yang nyaring bunyinya, karena kita tidak tau apakah kita masih diizinkan oleh-Nya untuk bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan? Boleh jadi usia kita hanya tinggal hari ini atau detik ini, berprinsiplah "hanya hari ini aku hidup". Jika memang hanya hari ini kita masih bisa bernafas kenapa kita harus mengakhirkan waktu shalat, merasa dengki, berghibah, tidak menolong orang yang membutuhkan, menunda-nunda untuk mengintrospeksi diri dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sebenarnya bisa kita lakukan saat itu juga.

Kita tahu bagaimana keadaan bangsa kita tercinta saat ini, begitu banyak ujian yang menimpa bangsa Indonesia. Jauh sebelum Ramadhan, bencana demi bencana susul menyusul; krisis moral, krisis moneter, krisis sumber daya alam hingga krisis iman pun melanda para generasi Islam bangsa kita. Disamping itu bencana kemanusiaan pun datang; kerusuhan, kelaparan serta tragedi kemanusian lainya menjamur dimana-mana. Ramadhan semestinya menjadi bulan perenungan, bulan introspeksi. Dengan hanya bersedih saja tidak akan membawa hasil apa-apa, Kesabaranlah yang seharusnya menjadi sikap, disamping muhasabah untuk senantiasa merubah diri menjadi lebih baik. karena dengannya akan jiwa manusia secara fitrah akan merasa lebih damai. Ketabahan akan lebih memberikan hal-hal positif dari pada kelemahan

Mari kita jadikan Idul fitri sebagai momentum untuk melakukan koreksi menyeluruh terhadap berbagai praktek kehidupan sosial keagamaan dan kemasyarakatan kita. Agar bangsa Indonesia kembali ke fitrah. Kembali kepada Indonesia yang bercita-cita luhur. Seiring dengan cita-cita mulia para pahlawannya. Indonesia tanah air kita bersama.

*Mahasiswi tk II fak. Bahasa Arab

 
posted by iqra at 10:04 PM | Permalink |


0 Comments: